Seperti anak SD, kalau kita ditanya tanggal 10 November itu diperingati sebagai hari apa, kita serentak akan berseru, Hari Pahlawan. Demikian melekatnya tanggal tersebut dengan nama peringatannya. Hampir semua orang, dari yang tidak pernah mengenal alfabet sampai kepada guru-guru besar, menghapal mati hal ini. Namun kepopulerannya ternyata hanya sebatas kulit.
Hari Pahlawan memang rutin diperingati di seluruh Indonesia, tapi itu tidak lebih dari pada seremonial belaka. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya tidak dihayati dan tidak mewarnai aktivitas kehidupan bermasyarakat. Kehidupan dinamis ala barat, yang sangat mendewakan individu, tampak berperan penting sebagai penyebab memudarnya nilai-nilai kepahlawanan tersebut. Orang-orang, terutama di lingkungan perkotaan, sering menunjukkan sifat individualisme, kurang memperdulikan orang lain di sekitarnya dan hanya berpusat pada kepentingan diri sendiri.
Berkaitan dengan judul tulisan, mungkin akan terbetik pertanyaan mengapa sampai dikatakan Indonesia kekurangan pahlawan. Bukankah taman makam pahlawan sudah berjubel dengan nisan-nisan yang indah? Bukankah kita bisa menikmati kemerdekaan dari penjajah karena banyaknya pahlawan yang rela mengorbankan dirinya dan hartanya untuk bangsa?
Berbicara masalah pahlawan, tentu tak bisa dilepaskan dari pengertian tentang pahlawan itu sendiri. Selama ini, kita sering salah dalam menetapkan siapakah yang pantas disebut pahlawan di negeri ini. Kita hanya memandang bahwa pahlawan adalah orang-orang yang pernah berjuang membebaskan negeri ini dari cengkraman kaum penjajah. Malah ada yang lebih lucu lagi dimana banyak orang yang beranggapan bahwa seseorang baru disebut pahlawan apabila orang itu berjasa bagi negara dan orang tersebut sudah meninggal. Itulah sebabnya, banyak kasus ironis di negeri ini, di mana seseorang yang pernah mati-matian membela bangsa dan negara, selepas kemerdekaan, hidup dengan sangat melarat dan tak terperhatikan. Baru pada saat meninggal, orang-orang mengingat dan mengagung-agungkannya. Malah ada yang sampai mati pun tidak terperhatikan.
Kadang juga ada yang pikirannya sedikit lebih luas, dengan menganggap bahwa pahlawan itu tidak cuma ada di zaman kemerdekaan saja. Sekarang pun, di masa pembangunan, banyak pahlawan-pahlawan di tanah air ini. Sebagai contoh, Susi Susanti (bidang olahraga). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (politik), Abdullah Gymnastiar (bidang agama). Pokoknya semua orang-orang ternama yang mengabdikan dirinya untuk bangsa. Tapi sebenarnya, pemahaman pahlawan seperti ini masih sempit.
Yang benar, pahlawan adalah semua orang yang rela dan mau membantu atau berbuat baik kepada orang lain, bangsa ataupun negara tanpa adanya rasa pamrih. Tidak peduli baik orang terkenal maupun tersembunyi di hutan belantara, baik yang meninggal maupun yang masih hidup. Mereka merasa bahwa mereka ini hidup tidak sendiri. Mereka satu kesatuan dengan masyarakat dan bangsa. Mereka merasa bahwa orang lain adalah saudara yang wajib mereka bantu. Tidak akan tenang hati mereka kalau orang lain kesusahan. Itulah hakikat pahlawan yang sebenarnya.
Dari batasan ini, sudah jelaslah, sangat tepat kalau dikatakan bahwa Indonesia dewasa ini kekurangan pahlawan. Sebagian besar orang hanya hidup untuk diri sendiri dan keluarganya. Sikut sana, sikut sini, biarkan saja orang lain seperti apa adanya, asal mereka sendiri dapat hidup dengan enak. Mereka tidak merasa bahwa kehidupan orang lain adalah bagian dari kehidupan mereka juga. Egois atau individualis adalah istilah yang tepat.
Itulah salah satu hal yang memperpuruk kehidupan ekonomi dan sosial bangsa ini yang sudah carut-marut. Kurangnya jiwa kepahlawanan, menyebabkan semakin melebarnya gap antara si kaya dan si miskin. Yang kaya semakin makmur, yang miskin semakin melarat. Kurangnya jiwa kepahlawanan juga menjadi sebab, tidak dinikmatinya kekayaan alam Indonesia yang konon berlimpah secara merata oleh masyarakat. Pihak yang berkuasa, karena mementingkan diri sendiri, mengelola kekayaan tersebut dengan seenak perut, bahkan mereka rela menjual kekayaan tersebut ke pihak asing, sehingga otomatis hasilnya lari ke negara lain. Jadilah kita seperti tikus yang mati di lumbung padi.
Sejenak, kita perlu menapak tilas asal muasal hari pahlawan itu sehingga kita akan semakin mengerti betapa pentingnya jiwa kepahlawan ditumbuhkan dalam diri kita. Secara ringkas,diceritakan sebagai berikut:
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Ini setelah sekutu berhasil menjatuhkan bom atom di kota Hiroshima dan Nagasaki. Dengan menyerahnya Jepang, praktis selama beberapa saat Indonesia bebas dari pendudukan negara manapun. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh pemuka-pemuka bangsa untuk memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945.
Dengan proklamasi ini, semakin bergeloralah tekad seluruh bangsa Indonesia untuk merdeka dan mempertahankan kemerdekaan tersebut. Karena itu tatkala, tentara Inggris datang pada tanggal 15 September 1945 di Jakarta dan 25 Oktober 1945 di Surabaya dengan maksud melucuti senjata tentara Jepang dan sekaligus mengembalikan Indonesia menjadi jajahan Belanda, maka Indonesia bereaksi keras.
Peristiwa di hotel Yamamoto, Surabaya, benar-benar mempertegas maksud bahwa Indonesia akan segera dikembalikan ke tangan Belanda. Saat itu, dikibarkan bendera Belanda Merah-Putih-Biru di hotel Yamamoto. Rakyat Surabaya marah besar, dan terjadilah insiden tunjungan untuk menurunkan bendera tersebut. Insiden ini menyulut bentrokan-bentrokan antara tentara Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat.
Bentrokan-bentrokan itu meluas dan memuncak tatkala pimpinan tentara Inggris di Surabaya, Brigadir Jendral Mallaby pada tanggal 30 Oktober terbunuh. Akibatnya, pengganti Brigadir Jendral Mallaby, Mayor Jendral Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia bersenjata harus melapor dan meletakkan sejata di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum yaitu jam 6 pagi tanggal 10 November 1945.
Ini merupakan penghinaan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia. Tentu saja ultimatum itu ditolak. Akibatnya, pada tanggal 10 November 1945, tentara Inggris melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. Surabaya dibombardir dengan bom, ditembaki secara membabibuta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Akan tetapi Tentara Keamanan Rakyat dan badan-badan perjuangan serta dibantu oleh rakyat terus mengadakan perlawanan. Mereka rela mengorbankan hidup mereka yang sangat tidak ternilai demi kemerdekaan.
Dari peristiwa bersejarah tersebut, tampak jelas betapa besar pengorbanan yang mereka lakukan demi sesuatu yang sangat berharga yaitu kemerdekaan. Begitu besar jasa-jasa mereka terhadap kehidupan kita. Mereka benar-benar pahlawan sejati.
Seharusnya diri kita pun bisa menerapkan rasa kepahlawanan seperti mereka dalam kehidupan kita. Kita tidak harus bertempur seperti mereka untuk jadi pahlawan. Situasinya sekarang lain. Kalau dulu mereka menjadi pahlawan untuk merebut kemerdekaan, sekarang kita menjadi pahlawan untuk mengisi kemerdekaan. Itu adalah sama mulianya dengan nilai kepahlawanan mereka.
Memang, hati kita lebih sering terusik jika ada provokasi dari luar. Rasa kepahlawanan kita untuk membela milik kita secara otomatis muncul jika menghadapi sesuatu yang mengancam keberadaannya. Pada peristiwa bersejarah di atas, ada provokasi dari penjajah, sehingga muncul semangat untuk membela negara sampai titik darah penghabisan. Contoh lain, masih kita ingat, saat panas-panasnya kasus Ambalat di perbatasan antara Malaysia dan Indonesia. Serta merta, ratusan bahkan ribuan orang mendaftarkan diri secara sukarela untuk menghadapi Malaysia kalau sampai negeri jiran tersebut menginvasi wilayah Indonesia.
Tapi kita tidak lantas hanya mempersempit lingkup kepahlawanan seperti itu saja. Nilai-nilai kepahlawanan yang kita terapkan di kala damai, dengan cara bersedia menolong dan berbuat kebaikan kepada orang lain, bangsa, dan negara tanpa pamrih, malah lebih bernilai dibandingkan nilai-nilai kepahlawanan saat perang. Kita berharap saja semoga semangat ramadan yang baru saja kita tinggalkan tidak pudar di tengah jalan dan bisa menginspirasi kita untuk terus mengobarkan semangat kepahlawanan dengan jalan berbuat kebaikan di dalam masyarakat, bangsa, dan negara tanpa mengharapkan pamrih.
18 Januari 2016 pukul 22.12
indonesia thx ya admin udh mau share cerita nya.. :)
23 Januari 2016 pukul 00.40
Agen Ceme Indonesia sungguh cerita yang menyimpan bnyak sejarah..
Posting Komentar